Oleh: Muh. Izwan
KORANMAKASSAR.COM — Visi besar Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045—ketika republik ini genap berusia seratus tahun—kian sering digaungkan dalam berbagai forum nasional maupun internasional. Pemerintah, akademisi, hingga pelaku bisnis memproyeksikan optimisme bahwa Indonesia akan masuk lima besar ekonomi dunia, dengan pendapatan per kapita diperkirakan lebih dari 20 ribu dolar AS. Sebuah mimpi besar yang tentu saja pantas untuk dikejar.
Namun, di balik euforia yang terus digulirkan, ada pertanyaan mendasar yang belum mendapat jawaban tuntas: apakah sistem pendidikan nasional kita benar-benar mampu melahirkan generasi emas yang siap bersaing di panggung global?
Pertanyaan ini penting, sebab sejarah dunia menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi, stabilitas sosial, dan kekuatan suatu bangsa pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia. Jepang, Korea Selatan, Singapura, hingga Finlandia membuktikan bahwa pendidikan yang berorientasi pada kualitaslah yang mengangkat mereka dari keterpurukan menuju kemajuan. Sebaliknya, tanpa pendidikan yang kokoh, bonus demografi hanya akan menjadi bencana demografi.
Bonus Demografi: Peluang atau Bencana?
Indonesia diproyeksikan memasuki masa bonus demografi pada 2030–2040, ketika 64 persen penduduk berada pada usia produktif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlahnya mencapai sekitar 196 juta jiwa. Secara teoritis, kondisi ini menjadi peluang emas: mayoritas penduduk adalah tenaga kerja produktif yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan inovasi, dan mempercepat transformasi industri.
Namun realitasnya, indikator kualitas pendidikan justru menunjukkan alarm bahaya. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 66 dari 81 negara dalam literasi membaca, 65 untuk matematika, dan 68 untuk sains. Artinya, sebagian besar siswa Indonesia belum menguasai keterampilan dasar yang menjadi fondasi inovasi.
World Bank (2022) bahkan memperingatkan bahwa 70 persen anak usia 10 tahun di Indonesia mengalami learning poverty—ketidakmampuan memahami bacaan sederhana. Jika keterampilan dasar saja belum kokoh, bagaimana mungkin mereka mampu beradaptasi dengan tantangan kompleks abad ke-21 seperti kecerdasan buatan, green economy, atau industri berbasis digital?
Tanpa reformasi pendidikan, bonus demografi bisa berubah menjadi beban demografi: ledakan pengangguran, meningkatnya kriminalitas, dan potensi instabilitas sosial. Alih-alih menjadi mesin pertumbuhan, generasi muda justru berisiko menjadi generasi yang “hilang” (lost generation).
Ketimpangan Pendidikan yang Menganga
Pendidikan di Indonesia masih diwarnai ketimpangan yang tajam. Data Kemendikbudristek 2023 menunjukkan lebih dari 40 ribu sekolah di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) mengalami kekurangan guru dan fasilitas.
Di kota-kota besar, anak-anak menikmati sekolah dengan akses internet cepat, laboratorium modern, bahkan pembelajaran berbasis artificial intelligence. Sementara itu, di pelosok Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Maluku, masih ada sekolah dengan bangku reyot, atap bocor, dan guru yang harus merangkap mengajar beberapa kelas sekaligus.