Anggota DPR RI Frederik Kalalembang: Komdigi Tak Tegas, Penipuan Online Kian Menggurita

JAKARTA, KORANMAKASSAR.COM — Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang bukanlah sosok asing di mata publik Sulawesi Selatan. Puluhan tahun mengabdi sebagai Bhayangkara Negara, pria kelahiran Makassar, 30 Oktober 1963 ini dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, namun tetap humanis dan dekat dengan jajaran bawahannya.

Kini, sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat asal Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan III, Frederik menyoroti isu nasional yang kian meresahkan masyarakat: maraknya penipuan online.

Dalam rapat kerja Komisi I DPR bersama Menteri Komunikasi dan Digital, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat (KIP), dan Dewan Pers di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (7/7), Frederik melontarkan kritik keras terkait lemahnya penertiban kartu SIM di Indonesia.

Baca Juga : Kapolda Berganti, Ketua IWO Sulsel Tekankan Penuntasan Kasus Mandek, Sobis, dan Perlindungan Wartawan

Ia menilai akar masalah dari berbagai bentuk kejahatan digital seperti penipuan daring, pornografi, hingga judi online justru bersumber dari tata kelola SIM card yang amburadul.

Menurut Frederik, tugas utama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) seharusnya adalah memastikan proses registrasi kartu SIM benar-benar valid dan sesuai dengan data NIK serta Kartu Keluarga.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Banyak kartu SIM yang diregistrasi menggunakan identitas orang lain, sehingga menjadi celah bagi pelaku kejahatan siber untuk beroperasi tanpa jejak jelas.

“Maraknya penipuan online di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan istilah sobis itu terjadi karena Komdigi tidak menertibkan SIM card. Kalau begini terus, sampai lebaran monyet pun masalah ini tidak akan selesai,” tegas Frederik dengan nada tinggi di ruang sidang Komisi I DPR.

Baca Juga : Tim Gabungan Intelijen Kodam XIV Hasanuddin, Amankan 40 Orang Terduga Pelaku Pasobis

Mantan jenderal polisi yang dikenal cerdas dan vokal itu mengapresiasi terobosan electronic SIM (e-SIM) yang mulai diperkenalkan oleh pemerintah. Namun, ia menilai langkah itu tidak akan berdampak banyak jika masalah fundamental pada sistem pendaftaran SIM card tidak dibenahi terlebih dahulu.

“E-SIM itu percuma kalau sistem registrasinya masih lemah. Kalau identitasnya saja bisa diisi orang lain, bagaimana negara bisa melacak pelaku penipuan atau kejahatan digital?” ujarnya menohok.

Frederik menegaskan, akar persoalan ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan ketegasan pemerintah dalam menerapkan regulasi dan pengawasan yang berlapis. “Komdigi harus turun sampai ke akar. Penertiban itu bukan pilihan, tapi kewajiban negara untuk melindungi rakyat dari kejahatan digital,” tutupnya. (*)

Komentar