BANDUNG, KORANMAKASSAR.COM — Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis, karena dilalui oleh kapal-kapal barang dari negara-negara Asia maupun Eropa menuju ke Asia Tenggara maupun Australia, ataupun sebaliknya. Selain itu, perairan Indonesia terletak di antara negara-negara produsen minyak di bagian barat dan negara-negara konsumen di bagian timur. Namun demikian, posisi strategis ini, selain menguntungkan juga mengandung resiko berupa dampak negatif dari kemungkinan terjadinya tumpahan minyak.
Demikian disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Andi Hartono, saat membuka secara daring penyelenggaraan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Menuju Pengesahan OPRC Convention, Aspek Hukum dan Penerapannya, bertempat di Hotel De Paviljoen, Bandung, Senin (8/3).
Andi mengatakan, penyelenggaraan kegiatan di perairan, baik laut maupun sungai, yang meliputi kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, serta kegiatan lainnya, mengandung risiko terjadinya musibah yang berpotrnsi mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak yang dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan perairan.
“Untuk menanggulangi hal tersebut, tentunya diperlukan suatu sistem tindakan penanggulangan yang cepat, tepat, dan terkoordinasi,” ujarnya.
Dalam menanggulangi permasalahan inilah, Andi menjelaskan, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tengah berupaya untuk melakukan pengesahan International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation, 1990 (OPRC) ke dalam Hukum Nasional.
“Oleh karena itulah hari ini kami telah mengundang para ahli untuk berbagi informasi dan pengalaman terkait kegiatan penanggulangan tumpahan minyak di laut, khususnya pada aspek koordinasi antar pihak terkait, termasuk mengenai aturan, prosedur pelaksanaan, penanggung jawab operasi dan biaya, termasuk klaim penggantian,” terang Andi.