MAKASSAR, KORANMAKASSAR.COM – Pusat Kajian dan Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan menyatakan siap menggugat Pemerintah Kota Makassar terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses seleksi Direksi dan Dewan Pengawas di lima BUMD.
Direktur PUKAT Sulsel, Farid Mamma, S.H., M.H., mengungkapkan pihaknya menerima banyak laporan dari peserta seleksi yang menilai tahapan ini hanya formalitas.
Sejumlah kejanggalan dicatat, mulai dari tidak adanya transparansi hasil skoring tes tertulis, psikotes, maupun wawancara, hingga dugaan nepotisme karena pelaksana tugas (PLT) Perumda bisa tetap ikut seleksi tanpa kewajiban mundur dari jabatan.
Lebih jauh, praktik yang mencederai aturan juga terlihat di Perumda Parkir di mana hubungan kekerabatan dekat justru dibiarkan lolos bersama. Sementara di Perumda Air Minum, seorang calon direksi diloloskan meski tidak mengikuti tahapan psikotes dan wawancara pada 30 Agustus 2025. Semua ini, menurut PUKAT, merupakan pelanggaran nyata terhadap PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD.

“Peserta diwajibkan mengurus SKCK, tes kesehatan, surat bebas narkoba, hingga melengkapi dokumen pengalaman kerja. Tapi faktanya, semua syarat itu diabaikan. Seleksi berubah menjadi transaksi politik. Ini bentuk penipuan publik yang sangat serius,” tegas Farid, Kamis (11/9/25)
PUKAT juga menyoroti penggunaan anggaran negara dalam proses seleksi, seperti biaya konsumsi selama empat hari, honor tim seleksi, dan honor penguji. Namun, hasil nilai tidak pernah diumumkan sehingga publik tidak tahu ke mana arah transparansi yang dijanjikan.
Farid menekankan, kondisi ini bukan sekadar maladministrasi, tetapi bisa menyeret Walikota Makassar ke ranah hukum pidana. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dengan jelas mengatur bahwa setiap penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dapat dipidana, dengan ancaman hingga 20 tahun penjara.
Baca Juga : 177 Peserta Ikuti Tes Psikologi Seleksi Direksi dan Dewas Lima BUMD Makassar
“BUMD itu milik rakyat, bukan milik tim sukses atau kelompok tertentu. Kalau kepala daerah memakai jabatannya untuk membagi kursi sebagai balas jasa politik, itu bukan lagi kesalahan etika, tapi dugaan tindak pidana korupsi,” tambahnya.
Menurut PUKAT, para peserta yang merasa dirugikan tengah bersiap melakukan gugatan secara kolektif melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sekaligus menempuh jalur pidana. Gugatan ini akan segera didaftarkan setelah semua bukti kejanggalan dihimpun.
“Walikota harus ingat, sumpah jabatan itu adalah janji pada rakyat dan konstitusi. Kalau sudah berubah menjadi alat untuk balas budi, warga berhak menggugat,” tutup Farid. (*)