Pemikiran Denny JA Soal Agama Sebagai Warisan Kulutural Milik Bersama Karya Ahmad Gaus

Pemikiran Baru

Ia melanjutkan, pandangan Denny JA bahwa agama-agama merupakan warisan bersama umat manusia adalah pemikiran baru yang akan mengubah kesadaran umat manusia dalam memandang perbedaan dan sekaligus memosisikan agama mereka di hadapan agama-agama lain.

“Ini terobosan yang luar biasa dalam pemikiran keagamaan di luar perspektif teologi. Di masa depan pandangan ini akan menjadi tesis besar dan akan terus bergulir memengaruhi diskursus keagamaan dan perdamaian.

Harusnya ini diadopsi oleh pemerintah yang sekarang sedang gencar mengkampanyekan moderasi beragama,” tambahnya.

Pemikiran Denny JA bahwa agama merupakan warisan kultural milik bersama umat manusia, menurut Gaus, menjadi jalan keluar dari kebuntuan teologi yang selama ini mempersepsi agama sebagai kebenaran mutlak.

Pandangan teologis inilah yang telah menyumbang pada kekerasan berdarah sepanjang sejarah.

Iman Berbasis Riset

Pada kesempatan yang sama, Zaprulkhan menegaskan bahwa pemikiran Denny JA membersitkan optimisme tentang masa depan agama. Jika selama ini para pemikir progresif terlalu keras mengkritik konservatisme maka yang terjadi justru arus balik. Di mana-mana kita menyaksikan kebangkitan agama puritan yang berciri intoleran dan menebarkan permusuhan.

baca juga : Hanya Penulis Satu Divisi yang Akan Bertahan di Era Artificial Intelligence

Salah satu core pemikiran Denny JA yang cukup menarik, ungkap Zaprulkhan, adalah iman berbasis riset. Pendekatan riset, dalam hal ini, riset kuantitatif dalam keberagamaan diperlukan agar keimanan kita tidak berpijak pada kepercayaan buta semata.

Dengan kata lain, pendekatan kualitatif perlu diperkaya dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan riset. Sebab salah satu signifikansi pendekatan kuantitatif atas fenomena agama dapat menumbuhkan proses pendewasaan hidup beragama.

Begitu pula dengan paradigma inklusif dalam memandang agama sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia, bukan paradigma eksklusif yang hanya memandang agama sendiri sebagai satu-satunya kebenaran dan menafikan eksistensi berbagai agama-agama lainnya.

“Paradigma inklusif inilah yang perlu disosialisasikan secara massif dalam rangka mewujudkan wajah kehidupan bumi yang penuh kedamaian, kesejukan, toleransi dan harmoni universal,” tegasnya

Gaus menambahkan, pendekatan kebudayaan seperti yang dilakukan oleh Denny JA perlu digalakkan. Ia mengutip beberapa ilustrasi yang dikemukakan Denny JA soal beragama di era Google, khususnya di dunia Barat dimana saat ini acara perayaan-perayaan keagamaan seperti Natal atau Idul Fitri tidak hanya dilakukan oleh umat bersangkutan melainkan juga dirayakan oleh umat agama lain.

Jadi, ujarnya, umat non-Muslim pun sekarang ini banyak yang ikut merayakan lebaran, karena itu dipahami sebagai perayaan kemanusiaan. Begitulah ciri beragama di era Google.

Diskusi yang berlangsung selama 2 jam itu diselingi pembacaan.puisi oleh seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN SAS bernama Nurul Hasanah. Di akhir acara Dr. Zaprulkhan membagi hadiah buku kepada enam orang peserta yang memberi tanggapan atas materi diskusi.