oleh

Tasawuf Menurut Pandangan Islam

Oleh : M.Yazid Busthami.

Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab sahihnya (Shahihain) meriwayatkan dari sahabat “Umar” Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagai berikut :
“Al-Insanu an Ta’budallahu Kaannaka Tarahu Fa in Lam Takun Tarahu Fainnahu Yaroka (Al-Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu!)

Bertitik tolak dari teks hadis sahih inilah, sebenarnya ajaran tasawuf (esoteris mereka) itu tumbuh, kemudian berkembang menjadi satu aliran dengan gaya falsafah hidupnya sendiri.
Adapun soal ihsan dalam ibadah, tentu saja merupakan usaha dan ikhtiar untuk mempertinggi kwalitas iman, menegakkan sandaran batin dan jiwa. Sehingga, siapa yang menekuninya pasti berusaha dengan sepenuh hati, memahami ibadah sebagai sesuatu usaha bahwa Allah Rabbul ‘Alamin senantiasa berada di mana pun, dan ke manapun dia pergi dan berada, Allah selalu mengawasi gerak geriknya, mengetahui isi hati apa yg terlintas dalam bisikan sukanya. Tiada sesuatu apapun yg terlintas dari Penglihatan, kecuali diketahui Allah Yang Maha Mengetahui itu. Dan bila kesadaran bathin sudah sedemikian teguh, maka tidak ada pilihan lain bagi segenap insan kecuali terus menerus berusaha agar ia selalu dalam keadaan diridhoi Tuhan.

Sudah semestinya seorang hamba senantiasa khidmat mengabdikan diri kepada-Nya dengan penuh tulus dan ikhlas menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itu sebenarnya hakekat dan tujuan tasawuf, dan untuk itu pulalah para ahli sufisme menggariskan khittah, dan sekaligus merumuskan beragam macam istilah dalam ajarannya.

Perlu ditegaskan, bahwa ajaran dalam ibadah seperti yang digambarkan oleh Allah (dalam al-Qur’an) dan dari pada-Nya pengertian tasawuf tumbuh dan berkembang adalah sesungguhnya suatu tingkatan yg tidak mudah dicapai oleh setiap insan yang hidup di planet bumi ini. Tasawuf bukanlah bentuk pemahaman dan penghayatan yang ‘gampangan’ dan dapat diperoleh sembarang orang. Kehidupan bagi seorang Sufi memerlukan bakat dan persiapan2 yang lengkap dan sempurna. Adapun zuhud, wara’, mujahadah, riyadah dan ajaran tasawuf lainnya semua itu adalah semata prasarana yang sangat dibutuhkan untuk sampai ke taraf ihsan sebagai tahap ibadah yang tertinggi, sebagaimana tuntunan al-Qur’an yang mengajarkan dan menganjurkan agar semua jalan ditempuh untuk sampai kepada-Nya sebagaimana Allah berfirman : “Wahai orang -orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan carilah jalan….(QS.Al-Maidah :38). Dan al-Qur’an sendiri menjelaskan, bahwa tujuan diciptakan jin dan manusia, tidak lain hanya untuk mengabdi dan beribadah semata-mata kepada-Nya.
” Dan Aku tiada menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku (QS.Al-Dzariyat : 59).

Untuk itulah kemudian para ahli Sufi mendasarkan falsafah dan membatasi dirinya pada semua ajaran dan tuntunannya. Bagi ahli Sufi, ikrar dan janji yang diucapkan di saat tegak berdiri bershalat menghadap Tuhan-Nya, bukanlah kalimat2 yang tak bermakna, yang hilang bersama lenyapnya suara yang timbul dari lisan, melainkan kalimat-kalinat ini adalah janji yang harus ditepati, seperti dalam doa pembuka shalat (istilah) “Sesunggug-Nya shalatku dan pengabdian ku, hidupku dan matiku semata hanya bagi Allah Pemelihara alam semesta”.

Bacaan ini bukan sekedar kalimat-kalimat kosong, yang cuma digerakkan oleh lidah, bukan pula ucapan yang hampa tiada bermakna, melainkan benar-benar ikrar (janji) tersebut diresapi dan dihayati sungguh2 untuk kemudian dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Selama hayat masih dikandung badan, dimana pun ia berada dan pada saat kapan saja waktu terluang, melainkan diisi dengan segala aktifitas ibadah, dan taqarrub ilallaah (mendekatkan diri) kepada-Nya tanpa henti.

Dengan segala macam corak dan bentuknya, baik ibadah badaniyyah (shalat, haji dan seterusnya), ibadah ma’aliyah (zakat, sedekah, infaq dan lain-lain) atau ibadah ijtima’iyah (mengantar jenazah, pengajian dan seterusnya) biasanya masing2 dilakukan menurut kemampuan dan kesanggupan. Kalau pun para ahli Sufi lebih mengutamakan zikir (menyebut asma Allah), istigfar (memohon ampunan) munajat memohon keselamatan) ‘ulah (menyendiri) dan khalwat (memisahkan diri dari keramaian), maka hal itu adalah selaras dengan firman Allah : “Dan sebutlah nama Tuhan-Mu an beribadahlah kepada-Nya dengan sungguh2 ibadah) di ayat lain ‘Dan sebutlah nama Tuhan-Mu dalam hatiku dengan merendah diri takut dan tidak mengeraskan suara, waktu pagi dan petang. Dan janganlah Engkau menjadi orang yang lalai”
Dan menyeru Tuhan mereka di waktu pagi dan petang, semata-mata mengharapkan kerelaan Allah dan janganlah matamu berpaling dari Dia karena menghendaki perhiasan kehidupan yang indah ini”. Dan masih banyak lagi ayat yang bercorak gaya hidup ‘esoteris kaum sufi’ namun tidak seluruhnya di sebutkan. Akan tetapi siapa yang menelaah Kitab Allah dan Rasul-Nya dengan teliti akan mudah menarik kesimpulan dengan jelas bahwa Tasawuf ISLAMI dengan segala bentuknya telah hidup dan subur berkembang hanya dalam rumpun dan. Lingkungan Islam, sebab tasawuf merupakan interpretasi dan pelaksanan yang konkret terhadap aspek spiritual Islam. Keberadaan Tasawuf dan ahli Sufi itu mempunyai benang merah dengan Islam dan ajaran2nya secara mendasar. Kalangan Sufi telah banyak menyumbangkan kontribusi pemikiran dan pencerahan yang cukup besar pada kehidupan kerohanian.

#penulis adalah pemerhati masalah tasawuf#