oleh

2 Januari 1946 : Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII Kirim Surat Persilahkan Pemerintah RI Pindahkan Ibukota KE DI Yogyakarta

koranmakassarnews.com — Pada awal tahun 1947 situasi keamanan di ibu kota Republik Indonesia di Jakarta sangat tidak aman. Pasukan Sekutu (AFNEI, Allied Forces in Netherlands East Indies), yang diboncengi Belanda dengan nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mulai melakukan razia-razia dan penangkapan atas pejuang kemerdekaan Indonesia. Beberapa kali terjadi kontak senjata antara pejuang dengan pasukan Sekutu, terutama di daerah perbatasan kota, seperti Meester Cornelis (Jatinegara dan Bekasi), Pasar Minggu dan lain-lain. Penjarahan dan perampokan terjadi dimana-mana.

Pasukan Jepang pun masih belum ditarik sepenuhnya, justru diminta mendukung operasi pengamanan ibu kota tersebut. Belum lagi muncul beberapa konflik antar pemimpin perjuangan. Bahkan terjadi beberapa kali upaya penculikan dan pembunuhan atas Presiden Soekarno dan pejabat tinggi pemerintah RI lainnya, baik oleh pasukan NICA maupun laskar-laskar rakyat yang tidak sepenuhnya tunduk kepada pemerintahan baru.

Pada 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengirimkan surat melalui kurir yang mempersilakan apabila pemerintah RI bersedia memindahkan ibu kota RI ke Yogyakarta atas jaminan mereka berdua. Tawaran ini pun segera disambut baik oleh Bung Karno dan kawan-kawan yang segera membahas persiapannya keesokan harinya dalam sidang kabinet tertutup.

baca juga : 1 Januari 1947 : Dimulainya Perang Lima Hari Lima Malam Dengan Belanda di Kota Palembang

Mengingat seluruh penjuru kota telah diawasi ketat oleh pasukan NICA dan Sekutu, maka dipikirkanlah cara paling aman untuk melakukan proses evakuasi tersebut. Akhirnya dipilihlah transportasi Kereta Api, mengingat jalur-jalur keretalah yang masih dianggap relatif aman. Jalur yang dilalui: Pegangsaan Timur – Manggarai – Jatinegara – Bekasi – Cikampek – Cirebon – Purwokerto – Kroya – Kutoarjo – Yogyakarta. “Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda.

Aku juga tidak,” kata Soekarno seperti ditulis Cindy Adams dalam biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Maka disusun satu rencana nekat. Pada tanggal 3 Januari 1946 jelang tengah malam, sebuah gerbong kereta yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 buatan Henschel (Jerman) dan dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng) yang terletak di pinggir rel KA antara Stasiun Manggarai dan Gambir. Diharapkan, tentara Sekutu/NICA akan menyangka kereta tersebut hanyalah kereta biasa yang langsir menuju stasiun Manggarai. (sumber wikipedia)