oleh

Denny JA : Kisah Nabi Ibrahim AS dan Empat Pendapat Soal Kurban Hewan

-000-

Itulah empat sikap yang berbeda soal kurban hewan secara massif saat Idul Adha. Bagaimana pemerintah harus bersikap atas empat sikap itu?

Tiga sikap di atas harus dibiarkan sebagai hak pemeluk menafsir agama. Negara tak boleh ikut campur urusan tafsir publik.

Sikap MUI yang menyatakan kurban hewan tak bisa diganti uang, harus dihormati. Sikap Muhammadiyah yang menyatakan untuk situasi khusus kurban hewan dapat diganti uang, juga harus dihormati.

Sementara sikap seperti Ali Muttaqi, yang berdasarkan tafsir atas ayat Quran, meyakini kurban hewan perlu ditafsir ulang, ini pun hak pemeluk agama menafsir agamanya sendiri.

Sikap Muttaqi lebih radikal ketimbang sikap Muhammadiyah. Jika Muhummadiyah menyatakan kurban hewan dapat diganti uang sedekah, hanya untuk kondisi tertentu saja. Muttaqi lebih jauh, kurban hewan dapat diganti untuk semua kondisi karena zaman berubah.

Biarkan tiga pandangan itu hidup. Bebaskan publik memilih yang mana yang mereka ingin ikuti.

Tapi sikap keempat, pemotongan hewan di jalan, atau di public area, yang tak hiegenis, apalagi tak dilakukan oleh yang profesional, ini yang perlu ditertibkan pemerintah.

Alasan penertiban bukan tafsir agama. Namun semata mata kepentingan kesehatan publik.

-000-

Mengapa pemerintah sebaiknya tak usah ikut campur dalam perbedaan tafsir agama, sejauh tak ada yang melanggar hukum kriminal?

Setelah Nabi wafat. Setelah pendiri agama tiada. Yang tersisa hanya para penafsir. Sang penafsir, sehebat apapun tingkat keulamaan, kependetaan, dan kecendikiaannya, ia bukan Nabi.

Setelah Nabi tiada, semua kita sama tak pasti apa sebenarnya kesejatian prinsip agama. Perbedaan tafsir tak terhindari.

Untuk kisah Ibrahim, bahkan terjadi pula perbedaan fakta keras. Awalnya kisah ini tertulis dalam Torah dan Perjanjian lama. Mereka meyakini, putra yang akan dikurbankan Ibrahim bernama Ishak.

Quran datang 600 tahun kemudian. Melalui proses waktu, di kalangan Islam meyakini fakta yang berbeda. Bahwa yang akan dikurbankan bernama Ismail. (5)

Kini penganut dua agama terbesar, Kristen dan Islam, meyakini fakta yang berbeda untuk peristiwa yang sama. Ishak versus Ismail.

Secara fakta, mustahil dua duanya benar. Pastilah ada keyakinan yang salah di antara dua keyakinan besar itu. Jika tak Ishak pasti Ismail. Tak mungkin dua duanya benar.

Tapi yang manapun yang salah secara fakta kita menyaksikan. Keyakinan atas fakta yang salah itu bertahan ribuan tahun. Dan dipeluk oleh lebih dari satu milyar manusia.

Toh dua agama ini dibiarkan tumbuh dengan keyakinan fakta yang berbeda. Alasannnya sederhana. Agama itu masalah keyakinan. Bukan masalah fakta.

Tak heran hingga saat ini, berkembang dan tumbuh 4300 agama. Semua tumbuh dengan keyakinannya masing masing.

Jika perbedaan fakta saja dibiarkan, maka perbedaan tafsir soal kurban hewan atau uang sedekah, sebaiknya juga dibiarkan pemerintah.

Biarkan publik memilih percaya yang mana. Pada waktunya, tafsir yang lebih sesuai dengan semangat zaman, itu yang akan bertahan panjang. Ini sejenis survival of the fittest yang terjadi di dunia tafsir agama. *

CATATAN

1. PP Muhammadiyah menyatakan untuk era Covid 19, kurban hewan dapat diganti uang sedekah

https://m.mediaindonesia.com/read/detail/323894-ini-alasan-muhammadiyah-ganti-sedekah-hewan-kurban-pakai-uang

2. MUI menyatakan kurban hewan tak dapat diganti uang sedekah atau barang lain

https://m.mediaindonesia.com/read/detail/328421-mui-kurban-tidak-bisa-diganti-uang-atau-barang-lain

3. Esai yang menafsir ulang kisah Ibrahim, dan merekomendasikan tak lagi menggunakan hewan sebagi kurban agama.

4. Berita yang mengkritik kurban hewan di jalan

https://www.thesun.ie/news/3017474/eid-al-adha-2018-animal-sacrifice-cows-beheaded/amp/

5. Dua pemeluk agama besar berbeda soal fakta. Yang dikurbankan itu Ishak atau Ismail?

*(Esai tahun 2021, yang saya tulis ulang)