oleh

Denny JA : Kisah Nabi Ibrahim AS dan Empat Pendapat Soal Kurban Hewan

koranmakassarnews.com — Merenungkan kisah Nabi Ibrahim di hari raya Idul Adha 2023, saya membaca empat berita dan esai. Empat tulisan itu mewakili empat sikap yang berbeda atas kurban hewan secara massal untuk ritual agama.

Pertama, berita dari PP Muhammadiyah. (1) Saran itu langsung datang dari Ketum Muhammadiyah yang beredar di media.

Ujar saran itu, bagi yang memiliki sumber daya terbatas, sebaiknya kurban hewan diganti dengan uang sedekah. Alasan yang digunakan adalah situasi ekonomi akibat Covid 19.

Sedekah uang itu lebih bermanfaat bagi penduduk luas, yang serba kekurangan. Publik juga terhindar dari kerumunan jika bersama menyaksikan hewan yang menjadi kurban. Kerumunan berbahaya di era Covid-19.

Ini sikap pertama: fleksibel. Untuk kondisi tertentu, hewan kurban dapat diganti uang sedekah. Tapi itu hanya untuk kondisi tertentu saja.

-000-

Kedua, berita dari MUI. (2) Ini suara resmi MUI melalui komisi fatwa. Menurut MUI, kurban hewan itu tak bisa diganti oleh uang atau barang lain. Tak ada perkecualian untuk prinsip ini.

Seandainya pun ada isu Covid-19, penyembelihan hewan dapat diatur hanya dilakukan di area tertentu. Dan dilakukan oleh lembaga atau tenaga profesional.

Ini sikap kedua: tidak fleksibel. Kurban hewan, penyembelihan hewan tak bisa ditafsir lain.

Ketiga, esai dari Shahid ‘Ali Muttaqi. Judulnya: An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice. (3)

Esai ini menafsir ulang kisah Ibrahim. Menurut penulisnya, Muttaqi, perintah Ibrahim untuk mengurbankan anak itu bukan instruksi Tuhan. Perintah itu hanya vision yang datang dari mimpi.

Penulis itu mengedepankan Human Reason. Dalam Ten Commandement, Tuhan sudah menyatakan jangan membunuh. Mustahil Tuhan meminta Ibrahim membunuh anaknya sendiri.

Itu hanya mimpi Ibrahim. Karena Ia mengira mimpi itu perintah Tuhan, dan ia manusia yang tunduk pada Tuhan, loyalitas Ibrahim mengalahkan cinta pada anak.

Tapi kemudian, pembunuhan atas anak sendiri batal. Dan itu diganti dengan kurban hewan. Itulah awal dari tradisi turun temurun kurban hewan untuk Tuhan.

Tapi Ali Muttaqi juga mengutip ayat Quran: 22:37

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah.

Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu.

Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Melalui surat itu, Ali Muttaqi menyatakan, yang mencapai Allah bukan daging atau darah kurban. Yang mencapai Allah adalah ketakwaan.

Muttaqi menganjurkan korban hewan di Idul adha ditafsir ulang. Di zaman modern, dengan animal rights, kurban hewan massal, tak lagi sesuai. Yang penting dalam kurban bukan hewannya, tapi sikap ketakwaan.

Ini sikap ketiga: mempromosikan untuk tak lagi kurban hewan massif dalam rangka ritual agama. Alasannya diambil dari tafsir atas surat Quran sendiri.

Berita keempat dari media The Sun. Judulnya rada rada serem: (4)

Blood in the Street. Eid Al adha animal sacrifice festival sees road turn red with blood as cow beheaded.

(Darah di Jalan. Festival kurban hewan Idul Adha: jalan berubah merah dengan darah saat sapi dipenggal).

Berita ini dari kaca mata dunia modern non Islam. Ia menggambarkan betapa anak anak menyaksikan begitu banyak hewan meronta kesakitan dibunuh atas nama Tuhan.

Ini sikap keempat: mengeritik kurban hewan di publik yang disaksikan anak anak. Seraya mempertanyakan apakah kurban hewan secara massif itu hygenies? Sehat? Dan masih tepat untuk zaman ini?