oleh

Melawan Kekerasan Seksual di Era Media Sosial

(Transkripsi Pidato Yang Dilengkapi di Forum Spiritualitas Esoterika- Komnas Perempuan, 20 Mei 2023)

Denny JA

koranmakassarnews.com — Media sosial telah melahirkan satu gelombang baru feminisme yang memberikan efek perubahan signifikan. Kaum feminis di Indonesia, dan aneka pihak yang peduli dengan kekerasan seksual dapat belajar dari kasus itu.

Itulah kesimpulan saya setelah membaca Harvard Business Review, Juli 2019. Jurnal itu mempublikasi hasil riset. Terjadi penurunan atas kasus Sexual Harrasment, dalam beberapa jenisnya di Amerika Serikat, tahun 2016-2018. (1)

Dalam riset itu terminologi kekerasan seksual diukur dalam tiga dimensi: pelecehan gender, perhatian seksual yang tidak diinginkan, dan pemaksaan seksual.

Pelecehan gender melibatkan perlakuan negatif terhadap perempuan yang tidak selalu bersifat seksual. Pelecehan itu mencakup komentar yang seksis, menceritakan kisah yang tidak pantas, atau menampilkan materi seksis.

Perhatian seksual yang tidak diinginkan mencakup beberapa perilaku. Misalnya, menatap, melirik, atau sentuhan yang tidak diinginkan.

Sedangkan pemaksaan seksual termasuk menyuap atau menekan perempuan untuk terlibat dalam perilaku seksual.

Dua data dibandingkan, dari riset di tahun 2016 dan 2018.

Pada tahun 2016, 25% perempuan dilaporkan mengalami pemaksaan seksual. Di tahun 2018 angka tersebut menurun menjadi 16%.

Perhatian seksual yang tidak diinginkan menurun dari 66% di tahun 2016 menjadi 25% di tahun 2018.

Yang menarik, menurunnya kekerasan seksual itu dihubungkan dengan gelombang besar sebuah gerakan di media sosial. Tentu saja gerakan jenis ini tak pernah terjadi sebelum datangnya media sosial.

Sebuah posting di Twitter ikut memulai lahirnya sebuah gerakan feminisme jenis ini.