oleh

Meningkatkan Kualitas Demokrasi Indonesia Melalui Penyelenggaraan Pemilu yang Bermartabat

Penulis : Dr. Andi Bachtiar, S.Sos, M.Si, M.Pd

koranmakassarnews.com — Dalam pemerintahan yang demokratis, kedudukan dan peran warga negara sangat vital. Demokrasi memiliki esensi government of the people, from the people, and by the people. Dalam konteks keindonesiaan, demokrasi diwujudkan dalam bentuk kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dalam Pasal 1 ayat 2 menebutkan “keadulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Untuk itu, kepemimpinan pemerintahan serta wakil-wakil rakyat yang diutus lewat lembaga-lembaga perwakilan rakyat merupakan peralihan kedaulatan rakyat yand diwujudkan melalui penyelenggaraa pemiihan umum. Dalam kerangka inilah, perlu ada prinsip yang mengatur bagaimana seharunya pemilihan umum dilakukan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 22 E ayat (1) menyebutkan: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Hasil publikasi The Economist Intelligence Units (The EIU) tahun 2018 yang mengeluarkan Indeks demokrasi Tahunan menunjukkan terjadinya penurunan peringkat Indeks demokrasi Indonesia dari perinkat 48 menjadi 68 secara global (Global Rank) sedangkan pada level Regional berada pada level 12. Indonesia berada dibawah dibawah sejumlah negara Asean lainnya seperti Timor Leste (43), Finipina (51) maupun Malaysia (59). Salah satu barometernya adalah penyelenggaraan pilkada yang diselenggarakan di Indonesia sepanjang tahun 2017. Untuk itu, sebagai salah satu perwujudan dari prinsip demokrasi, pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan sebagaimana amanat UUD  NRI tahun 1945 pasal 22 E bahwa proses pemilu harus dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pelaksanaan Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat (warga negara) untuk mengekspresikan hak politiknya dalam rangka menyelenggarakan; 1) perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society), dan 2) pergantian pimpinan secara teratur(orderly succession of rulers). Hal tersebut sebagaimana tergambar dalam UUD yang menegaskan bahwa tentang: (1) Waktu pelaksanaan Pemilihan Umum  yang dilakukan secara teratur lima tahun sekali, dan (2) Jaminan akan proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu secara, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Penyelenggaraan pemilihan umum dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, merupakan salah satu bentuk kegiatan untuk menegakkkan tatanan pemerintahan yang demokratis. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat yang selanjutnya merepresentasikan kedaulatan tersebut kepada organ – organ penyelenggara negara (dan daerah – daerah sebagai bagian dari negara), seperti; Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Untuk itu, pemilu sejatinya bukan sekedar seremoni lima tahun untuk memberi suara (one man one vote) semata. Lebih dari itu, pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Suatu tata pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsive dan partisipative. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, dimana setiap pilihan dibangun atas pertimbangan sadar yang objektif, bukan karena iming-imin transaksional (political money), mobilisasi, ikatan kekerabatan atau kesukuan, populeritas dan lainnya. Melainkan demokrasi yang partisipatif, dimana setiap orang secara sadar memberikan pilihannya yang rasional dan turut sert mengontrol jalannya pemerintahan oleh berbagai organ penyelenggara negara tersebut.

 Potret Pemilu Indonesia

Pemilu sebagai pengejawantahan dari kedaulatan rakyat telah berlangsung di Indonesia sejak reformasi sebanyak 5 kali sejak 1999 hingga 2019, setelah sebelumnya terdapat 7 pemilu yaitu sejak 1955 hingga 1997. Dari prosesi pemilu yang telah berlangsung selama 5 kali tersebut, belum lagi dengan Pikada menunjukkan beberapa fenomena yang menjadi potret penting dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

  1. Biaya yang mahal

Pilkada serempat yang dilaksnakan se Indonesia itu menghabiskan anggaran seb triliunan. Sebuah anggaran yang tidak kecil, belum lagi dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya, belum lagi dengan pemilihan Presiden dan Anggota DPR tahun 2024. Cost-nya tidaklah murah!. Dengan fakta ini, maka sepatutnya pemilu yang mahal ini juga menjadi garansi melahirkan para pejabat dan anggota DPR yang benar-benar berkompeten dan memiliki integritas yang kuat dalam mendorong perubahan kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik, dan proses pembangunan yang lebih meyakinkan. Sayang jika pemilu hanya menjadi hajatan menghamburkan uang, apabila hasilnya yang memberikan implikasi yang berarti bagi perubahan kehidupan rakyat dan pembangunan di Indonesia dan daerah.

Salah satu fenomena dari kegagalan demokrasi adalah jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi sejauh ini. Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK  menyebutkan bahwa sejauh ini telah ada puluhan bupati/walikota  dan guvernur . Belum lagi dengan beberapa anggota DPR/DPRD dan Menteri yang terjerat korupsi dalam beberapa tahun belakangan.

  1. Kepercayaan kepada Partai Politik yang Menurun

Partai politik sepatuhnya menjadi instrumen publik untuk mengejawantahkan dirinya melalui pemilu. Partai politik juga adalah penyedia calon-calon pemimpin dalam pelaksana pendidikan politik bagi warga negara. Namun, sistem transaksional yang marak tumbuh di parti politik serta banyanya tingkat korupsi dari para pejabat dan anggota DPR/DPRD membuat kepercayaan terhadap partai politik menjadi menurun. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah calon perorangan sperti dalam perhelatan pemilihan kepala daerah tahun 2018 yang lalu, dimana pasangan calon tunggal dalam Pilkada kali ini jumlahnya mencapai 15 daerah. Para calon kepala daerah di ke-15 daerah itu terdiri dari Deli Serdang, Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Pasuruan, Lebak, Tangerang, Kota Tangerang, Tapin, Minahasa Tenggara, Bone, Enrekang, Mamasa, Mamberamo Tengah, Puncak, dan Jayawijaya.

  1. Demokrasi mobilisasi daripada demokrasi partisipasi

Namun, fenomena proses pemilu yang tidak di  demikian, dalam kenyataannya masih banyak warga negara (rakyat) yang sesungguhnya sebagai pemegang peranan (role occupant) penting, tidak  menggunakan hak pilihnya / hak suaranya  dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

Penguatan Demokrasi dan Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia

Menguatkan pemilu berarti menguatkan demokrasi, demikian juga sebaliknya. Penguatan terhadap demokrasi adalah proses untuk menguatkan pemilu. Mencermati harapan dari adanya pemilu serta potret realitas dari penyelenggaraan pemilu maupun pilkada di Indonesia, maka penting dilakukan beberapa hal berikut:

  1. Intensitas Pendidikan Politik

Pemilu sebagai sebuah proses demokrasi membutuhkan warga negara yang rasional di dalamnya. Faktanya di Indonesia, karakteristik masyarakat yang sangat kuat dengan berbagai ikatan sosial serta kondisi ekonomi lainnya membuat pilihan-pilihan politik cenderung emosional dan transaksional. Untuk itu, pendidikan politik yang telah didengungkan sejak lama, harus tetap menjadi agenda utama pemerintah, terlebih partai-partai politik untuk memberikan pendidikan politik yang baik bagi setiap warga negara. Dengan demikian maka proses demokrasi partisipatif dan berkualitas dapat diwujudkan.

  1. Penegakan Hukum

Selama ini, pesta demokrasi menjadi compang camping oleh praktik money politik, bagi sembako, membawa isu SARA dan lainnya. Praktek ini harus diminimalisir melalui penegakan hukum yang tegas. Untuk itu, peran lembaga pengawasan pemilu seperti BAWASLU, kepolisian dan lembaga hukum lainnya sangat penting untuk memastikan Pemilu dan Pilkada pelaksanaan pemilu dan pilkada yang memenuhi prinsip-prinsip pemilu yang baik dalam UUD 1045.

  1. Komitmen dan Integritas Penyelenggara Pemilu

Pemilu yang berkualitas tidak sedekar membutuhkan kompetensi penyelenggara, lebih dari itu adalah komitmen dan integritasnya. Komiment dan integritas merupakan modal pelaksana dalam menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil. Suatu panggilan moril untuk menjaga diri dan institusi penyelenggara pemilu seperti KPU maupun BAWASLU sebagai lembaga pengawasan pemilu dari praktek-praktek yang mencederai demokrasi di Indonesia. Untuk itu, individu-individu yang direkrut sebagai penyelenggara maupun pengawas pemilu maupun pilkada adalah individu yang kecakapan yang memadai, juga komitmen dan integritas diri yang mumpuni. Yang dengan modal tersebut, pelaksanaan pemilu tidak saja dapat berjalan secara efektif dan efisien, juga jauh dari praktek-praktek yang mempengaruhi nilai-nilai demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. (*)

Penulis : Dr. Andi Bachtiar, S.Sos, M.Si, M.Pd