oleh

28 Juni 1965 : Harian Kompas Terbit Pertama Kali

Di halaman pertama pojok kiri atas, tertulis nama staf: Pemimpin Redaksi Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem. Menurut Jakob Oetama, nama P. K. Ojong ketika itu tabu politik. Lagipula, figur Ojong tidak disukai Soekarno.

Dalam kontekstual politik pada saat itu untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Pagi hari 30 September 1965, tepat tiga bulan usia Kompas, sebagian besar warga Jakarta terlelap dalam tidur pulasnya, ketika sekelompok tentara bersenjata menangkap beberapa jenderal yang dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal.

Peristiwa ini mengubah jalannya republik. Sejarah mencatat sebagai upaya perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Seperti beberapa harian yang terbit bersama dengan Kompas, mereka tidak terlepas dari upaya untuk memberikan tandingan kepada pers yang berafiliasi dengan ideologi kiri seperti PKI, dan harian yang dituduh tidak revolusioner lainnya.

Sehari setelah peristiwa itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba yang tengah mendapat giliran tugas malam, diberi tahu pihak percetakan bahwa Kompas beserta surat-kabar lain tak boleh terbit. Hanya harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, kantor berita Antara, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata yang diperbolehkan menyiarkan berita. Larangan untuk tidak naik cetak tersebut dikeluarkan oleh pihak militer Jakarta.

Dalam surat perintah itu disebutkan “dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September atau Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan.

Ketika itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba tetap yakin Kompas tak perlu dilarang terbit. Alasannya, Kompas sudah mengecam pemberontakan, dan di dalam lay out sudah disiapkan bahwa Kompas edisi 2 Oktober juga memuat pernyataan sikap dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata.

Penyerangan terhadap PKI ternyata tak menyelamatkan Kompas. Koran itu baru boleh terbit lagi pada 6 Oktober 1965. Rentang waktu seminggu itu, hingga saat ini menjadi misteri yang belum terkuak. Banyak asumsi, pertanyaan, dan analisis bergentayangan. Mengapa seluruh koran dibredel dan hanya menyisakan koran milik militer? Pertumbuhan Kompas meningkat.

baca juga : 27 Juni 1947 : Presiden Soekarno Lantik Jenderal Soedirman Sebagai Panglima TNI

Saat pertama kali dicetak, oplah Kompas sekitar 4.800 eksemplar. Ketika pindah ke percetakan yang lebih bagus, Percetakan Masa Merdeka, tirasnya meningkat jadi 8.003 eksemplar, hingga menjelang pembredelan yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto.

Saat terbit kembali pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menembus angka 23.268 eksemplar. Zaman berganti. Soekarno diganti Jenderal Soeharto. Pada 1999, setahun sesudah Soeharto dipaksa mundur, tiras Kompas mencapai angka lebih dari 600 ribu eksemplar per hari. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset AC Nielsen tahun 1999 menunjukkan pasar terbesar masih seputar Jakarta 46,77%, Bogor, Tangerang, dan Bekasi 13,02%, Jawa Barat 13.02%, Jawa Tengah, Yogyakarta 6,67%, Jawa Timur 2,04%, Sumatera 8,81%, Kalimantan 2,16%, dan Indonesia Timur 4,23%.

Gramedia sebagai perusahaan induk Kompas tercatat sebagai persuahaan yagn membayar pajak terbesar nomor 32 pada tahun 1980 sedang pada tahun pada tahun 1993 untuk perusahaan PT Kompas Media Nusantara saja diperkirakan menghasillkan Rp 240 milyar setahun dengan keuntungan bersih Rp 30 sampai 35 triliun. Tahun 1991 PT Gramedia dengan penerbitan bukunya menduduki urutan ke-151.

Seiring dengan pertumbuhannya, seperti kebanyakan surat kabar yang lain, harian Kompas saat ini dibagi menjadi tiga bagian (section), yaitu bagian depan yang memuat berita nasional dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, bagian berita olahraga dan iklan baris yang disebut dengan “Klasika”. Harian Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara. (sumber : wikipedia)