oleh

Denny JA: Satu Islam, Dua Jadwal Puasa, Dua Jadwal Idul Fitri

-000-

Perasaan saya bercampur- campur setiap kali menyaksikan perayaan hari raya Idul Fitri di Indonesia dalam dua versi, dalam dua hari yang berbeda.

Satu sisi, ada rasa bangga melihat luasnya toleransi atas perbedaan melaksanakan hari raya. Sisi lain ada rasa prihatin.

Dunia Islam sudah berusia 1500 tahun. Apa iya di era global dan manusia sudah menciptakan artificial intelligence seperti sekarang, tapi dunia muslim ini belum berhasil menciptakan sistem kalender global bersama agar bisa merayakan Idul Fitri di tanggal dan hari yang sama?

Terenyuh saya mendengar kabar satu keluarga di pamekasan, Jawa Timur. Akbar merayakan Idul Fitri hari ini karena ia warga Muhammadiyah. Tapi ia tak bisa sepenuhnya gembira bersama keluarga dan anak dan orang tuanya.

Itu karena istrinya Akbar warga NU tulen. Ia tak merayakan Idul Fitri bersamanya. Istrinya ikut hari raya versi NU (dan pemerintah) di esok harinya.

Hari itu Akbar juga tak bisa silahturahmi lebaran ke Ayah kandungnya, karena Ayahnya juga warga NU.

Akbar dan istri dan Ayahnya memang berlapang dada menerima perbedaan itu. Bukankah berbeda hari untuk lebaran sudah terjadi beberapa kali.

Tapi pasti pula menyelinap di lubuk hati. Kebahagiaan mereka akan lebih total jika bisa merayakan hari lebaran bersama satu keluarga: ayah, ibu, suami, istri, anak dan tetangga.

Yang mengalami situasi seperti Akbar ini banyak sekali di Indonesia.

Hal yang sama terjadi pada dunia muslim di seluruh kawasan. Muslim di Arab Saudi dan Amerika Serikat merayakan Idul Fitri di hari Jumat 21 April 2023. Tapi Muslim di Malaysia dan Australia merayakan Idul Fitri di hari sabtu, tanggal 22 April 2023.

Kita bangga melihat luasnya toleransi atas perbedaan itu. Tapi sekaligus juga prihatin atas perbedaan waktu tersebut.

Perlukah dan mungkinkah suatu hari kelak umat Islam di seluruh dunia mengembangkan kalender hijriah global, sehingga jauh lebih cepat mengetahui, dan bisa bersama di tanggal dan hari yang sama merayakan Idul Fitri?

-000-

Jawaban sederhananya sebagai berikut. Secara keilmuan di era sekarang sangat mudah membuat kalender bersama secara global bagi seluruh umat Islam di muka bumi.

Sangat mudah sekali untuk mengetahui kapan hilal di muka bumi ini muncul sebagai syarat datangnya 1 syawal, hari raya Idul Fitri.

Bukankah jadwal sholat di seluruh dunia juga bisa dan sudah disusun dengan mudahnya? Kapan jadwal sholat di Arab, di Cina dan di Indonesia bisa ditentukan hingga angka jam, menit dan detik, untuk bulan depan misalnya.

Bukankah jadwal sholat jumat di seluruh dunia, kawasan muslim bisa bersepakat menyelenggarakannya di hari yang sama, hari jumat waktu setempat?

Ilmu pengetahuan sudah sampai di tahap itu. Bahkan kapan akan terjadi gerhana matahari 50 tahun mendatang, ilmu pengetahuan bisa menghitungnya dengan presisi yang tinggi. Dapat diketahui pula di daerah mana gerhana matahari 50 tahun mendatang bisa dilihat.

Cukup kita ketik saja di Google. Kurang dari satu menit, Google memberi tahu. Bahwa gerhana total matahari di tahun 2073, lima puluh tahun dari sekarang, akan terjadi di tanggal 21-22 Febuari. Lengkap pula dituliskan di negara mana total gerhana matahari itu bisa dilihat.

Soal belum adanya kalender global hijriah disebabkan bukan di level ilmu pengetahuan. Tapi itu ada di level pilihan interpretasi aturan, dan di level ego nasionalisme, atau ego organisasi kemasyarakatan.

Padahal semua perbedaan itu berangkat dari aturan yang sama, hadis Nabi Muhammad:

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal.
Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)
menjadi 30 hari”.

Masalahnya bagaimana cara melihat hilal itu? Haruskah dengan mata telanjang? Atau bisa dibantu oleh teknologi supercanggih seperti teleskop dan satelit?

Dengan datangnya ilmu pemgetahuan, yang di era hidup Nabi ilmu itu belum ada, bolehkah hilal itu dihitung secara kalkulasi matematis dan astronomis saja? Bukankah secara keilmuan gerak benda alam raya hingga 50 tahun ke depan sudah bisa diketahui?

Bisakah diterapkan apa yang disebut dengan transfer imkan rukyat? keterlihatan atau kemungkinan terlihat hilal di suatu tempat di muka bumi diberlakukan (ditransfer) ke seluruh dunia?

Bisakah bumi secara keseluruhan dilihat sebagai satu kesatuan matlak (zona waktu saja)?

Bumi sebagai satu matlak, sehingga apabila di suatu tempat di mana pun di muka bumi telah terjadi imkan rukyat, sudah terlihat hilal, maka itu dipandang berlaku bagi seluruh kawasan muka bumi?

Upaya merumuskan kalender global bersama umat Islam sudah diserukan sejak puluhan tahun lalu. Di tahun 1958, seorang ahli hadis sangat terkemuka dari Mesir bernama Ahmad Muhammad Syäkir sudah menyatakannya. Ia hidup di tahun 1866-1939 M.

baca juga : Denny JA Usukan Koalisi Partai Semi Permanen 20 Tahun Dipimpin Golkar dan Gerindra

Menurut Syakir, memiliki kalender global bersama bagi umat Islam di seluruh dunia adalah keharusan. Bukan saja kalender itu berguna secara sosial tapi juga memiliki implikasi hukum Islam sendiri.

Antara lain, kalender itu bisa menentukan secara global agar awal dan akhir ramadan di seluruh dunia jatuh di tanggal dan hari yang sama. Tidak seperti sekarang yang jatuhnya hari Idul Fitri di hari yang berbeda.

Pandangan ini juga bersandar pada hadis Nabi:

“Puasa itu adalah pada hari [semua] kamu berpuasa, dan idulfitri itu adalah pada hari [semua] kamu beridulfitri, dan iduladha itu adalah pada hari [semua] kamu beriduladha”.

Hadis ini mengandaikan ada satu waktu ibadah yang sama untuk seluruh dunia. Namun waktu yang sama hanya bisa dirumuskan jika umat islam memiliki kalender hijriah global yang juga sama.