oleh

Khazanah Sejarah : Sisi Lain di Balik Gempa Tektonik 1967 di Sulbar (1)

(Sebuah Pengalaman Pribadi)
Penulis : Ahmad M. Sewang

koranmakassarnews.com — Tepat 11 April 1967 sekitar jam 13.00, telah terjadi gempa tektonik di lepas pantai Tinambung, Sulawesi Barat. Sebanyak 58 orang yang meninggal dunia ketika itu dan juga banyak bangunan hancur. Belum lagi dampak lanjut dari gempa dengan banyaknya pengungsi mencari tempat aman, mereka mengungsi ke daerah yang jauh dari pusat gempa. Sebaliknya, banyak juga yang tetap bertahan di rumah masing-masing, tidak mengungsi, untuk menjaga harta benda mereka dari penjarahan.

Saya merasakan betul kejadian itu, sebab saya masih di daerah, saat itu saya terbaring karena mulas. Untung juga sakit karena biasanya rajin ke masjid salat rawatib. Saya alfa ke masjid karena sakit sehingga terhindar dari reruntuhan masjid akibat gempa.

Kampung saya sejak dahulu kala masyhur karena memiliki stok banyak ulama. Di sini lahir K H Muhammad Tahir yang dikenal dengan gelar Iman Lapeo. Sedang ulama yang masih aktif mengajar saat itu adalah K.H. Muhammad Saleh, Syekh Hasan Jamalullail, Habib Husain al Attas, K.H. Ismail, K.H. Hafid, K.H. Muhammad Said, K H. Abdullah, K.H. Abd. Rasyid dan ulama-ulama lainnya dan mereka juga memiliki asisten, yaitu Ust. Abdulrahman, Ust. (K.H.) Syauqaddin, Ust. Muh. Yasin, Ust. Ismail, dan Ust. Alwi.

Di tengah pengungsian, terjadi sebuah perdebatan yang membagi ulama dalam dua pandangan, sekaligus juga membedah umat pada dua kelompok, tentang masalah perlu-tidaknya mengungsi. Saya yang masih berumur 15 tahun saat itu sedang dalam pencaharian jati diri, banyak mendengar dan asyik menikmati perdebatan itu. Kelompok pengungsi beralasan seperti kisah Umar bin Khattab, ketika rombongan akan memasuki kota Syam yang sedang dilanda wabah penyakit. Umar mengusulkan lebih baik lari dari takdir buruk menjauhi wabah penyakit dan kembali ke Madinah menuju takdir baik.

Sedang orang yang tidak ingin mengungsi juga punya argumen teologis kuat, yaitu teologi Jabariah dengan dasar al Quran, ke mana pun pergi di belahan bumi ini, jika ajal sudah tiba pasti maut akan menjemput, seperti dijelaskan Allah SWT

QS al Nisa: 78,
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ ….
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, … .

Kampung ini memang kelebihan stok ulama, sedang penyalurannya terbatas, akhirnya apa saja bisa didiskusikan yang mungkin bagi orang lain menganggapnya tak perlu, apalagi dalam suasana duka. Walau demikian, saya berusaha menikmati suasana itu. Bahkan dalam biografi yang kutulis sendiri. Saya menyatakan bangga lahir di sini dan berterima kasih pada Sang Pencipta sebab ditakdirkan lahir di kampung bersahaja ini. Alasannya bisa dibaca pada buku biografi saya. (bersambung)

Wassalam,
Makassar, 18 Januari 2021