oleh

Mengantar Kepulangan Alm Syamsuddin “Olleng” Rajab

Oleh : Armin Mustamin Toputiri

koranmakassarnews.com — “Jika saya ditanya, siapakah adikmu seorang aktifis yang paling kurang ajar sama kamu sebagai seniornya, maka namamulah kusebut diurutan teratas”

Sepenggal kalimat itu, seketika menguap dari endapan memori ingatan saya. Kala mendapat kabar, jika adik — di sekian organisasi — “Olleng” menerima suratan “Ilaihi rojiun”. Berpulang keharibaanNya.

Tak sedikit orang, mengenalnya hanya pada sapaan akrabnya, “Olleng”. Patut diduga, hanya sedikit yang tau, jika nama lengkap, sebenarnya Syamsuddin Rajab.

Namanya masyhur, tak sebatas region Sulsel. Lebih dari itu, di level nasional namanya ikut terbilang. Tau saya, musabab gairah hidup adik ini, tiada surut, tiada redup. Tak kenal musim, gairahnya tetap membara. Entah, bawaan dari tanah lahirnya, Jeneponto. Atau, entah buah tempaan kala mondok di Pesantren Darul Arqam, Maros.

Ia pemberani, seolah tak kenal rasa takut. Ia kritis, banyak soal sensitif ia sorot, dimana tak banyak anak muda seusianya berani melakukan. Telaten, pemburu ilmu, rajin baca. Wajar jika argumennya-argumennya selalu saja menghentak.

Kala memulai debutnya dalan kepengurusan KNPI Sulsel. Gilirannya ditugasi menangani kegiatan Bakti Sosial. Bukannya menolak, tapi ia menggiring saya ke sebuah warung kopi. “Kanda, organisasi sebesar KNPI masih juga bikin kegiatan Bakti Sosial kah?”, tanyanya.

“Iyya!”, jawab saya. Singkat, pilihan terbaik, menjauhi debat panjang. Telah 100 jus khatam saya untuk tau dirinya. Sediakala sejak kami sama ber-HMI. Tak ada soal, tak disoal. “Bukannya KNPI memikirkan urusan-urusan strategis negara?”, lanjut pertanyaannya mewujud pernyataan. “Masa KNPI masih mengurus Baksos, itu urusan organisasi sekelas OSIS, kanda!”. Lagi-lagi, saya memilih bungkam. Mengalih pada topik lain.

Sekian bulan kelak, sebagai Sekretaris KNPI Sulsel, saya menugasinya sekali lagi. Menyusun sebuah buku tentang “Peluang dan Tantangan Kaum Muda Era Reformasi”. Tenggat waktu telah lewat, buku tak mewujud. “Hanya pengurus OSIS yang diberi tugas yang tak tepat waktu!”, gurau saya. “Wah, kalimat saya tempo hari, kini di balikkan ke diri saya”, tepisnya tersenyum simpul. Sekian bulan setelahnya, buku tebal itu, terbit.

“Inilah hikmah di balik kakanda pernah menugasi saya menyusun sebuah buku”, ujarnya sambil menyodori saya sehelai buku baru. “Cobalah dilihat-lihat dulu nama disampul depan kanda”. Ya, di atas judul, “GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan”, tertulis dua nama. Syamsuddin Rajab dan Ade Reza Hariyadi. “hebat kan adik kakanda ini?”. Saya mengaggukkan kepala. “Saya mengundang kakanda, salah satu pembedahnya”. Ok, siap!

Dua buku telah ia susun. Disusul sekian buku lagi. Tiapkali terbit, ia mengajak saya mendiskusikan. Tepatnya, mendebat. Tak lain, saya sengaja memilih mendebat. Sebab lazimnya, jika didebat, dirinya tak tinggal diam. Jika kedua lengannya telah bermain-main, pertanda ia tengah serius berargumen. Didebat, nada suaranya kian tinggi. Alih-alih, kian mengalir pula aneka dalil demi dalil dikutipnya dari sekian pakar.

Meski, acapkali kunjungan kerja saya – semasa sebagai legislator – ke Jakarta, sering-sering begadang bersama Dek Olleng di kedai kopi, tapi tak sekalipun saya menanyai aktifitasnya di Jakarta.

Meski namanya dibicarakan tak sedikit orang. Tau saya, mulanya pengurus PB HMI, sambil lanjut bersekolah. Belakangan ia aktif di Kelompok Jenggala, ex-tim pemenangan JK. Paling mutakhir, pula ia merapat ke kelompok Agung Laksono, selaku Dewan Pakar Kosgoro 1957.

Di Jakarta, Oktober 2008. Dikala tengah malam yang telah larut, pula ia ikut merapat di Mercure Hotel Ancol. Ia datang di waktu tepat. Sidang Kongres XII Pemuda-KNPI yang tengah saya pimpin, rusuh. Peserta sidang berantem.

Sekejap Dek Olleng, menarik saya. Membawa lari menjauhi arena sidang. Hingga pagi, kami memilih meneguk kopi di satu kedai di kawasan Manggadua. Dan pagi itu, kami dapat kabar, Ahmad Doli – kini Ketua Komisi II DPR-RI — terpilih sebagai Ketua Umum.

“Andaikan tadi, saya tak menarik, membawa lari kanda dari ruang sidang, mungkin kanda sudah dibonyok oleh peserta sidang”. Lagi-lagi dengan gurauannya, memancing untuk ditimpali. Namun sekali lagi, pun saya mengambil jurus bungkam. “Kakanda mestinya khatam, orang Bugis-Makassar, jika memimpin sidang tingkat nasional, badik jadi palu sidang”, ujarnya sambil tersenyum simpul