oleh

2 Maret 1957 : Proklamasi Perjuangan Rakyat Semesta di Makassar

MAKASSAR, koranmakassarnews.com — Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta (Ejaan Soewandi: Perdjuangan Rakjat Semesta) disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur pada tanggal 2 Maret 1957. Pusat gerakan ini mulanya berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi.

Namun perlahan-lahan dukungan di Sulawesi Selatan mulai hilang sehingga pada 1957 markas Permesta dipindahkan ke Manado di Sulawesi Utara. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata pada tahun 1961.

Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur menumbuhkan berbagai macam alasan. Utamanya bahwa kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan Sumatra Tengah waktu itu merasa bahwa kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana dalam gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan daerah regional lainnya. Juga ada rasa kebencian terhadap kelompok suku Jawa, yang merupakan suku dengan jumlah terbanyak dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia yang baru saja terbentuk.

Ketidakseimbangan terjadi karena ajang politik Indonesia terpusat di pulau Jawa, sedangkan sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari pulau-pulau lain. Efeknya konflik ini sedikit menyoal pikiran tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih menitikberatkan tentang pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil di Indonesia.

Pada tanggal 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar dan di hadapan sekitar 50 hadirin, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur. Selanjutnya Lahade membacakan Piagam Perjuangan Semesta atau Piagam Permesta. Pada bagian akhir piagam tersebut mengenai “TJARA-TJARA PERDJOANGAN” dituliskan bahwa “pertama-tama dengan mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia, dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengka-lai revolusi Nasional.

” Piagam tersebut ditanda-tangani para hadirin. Setelah pembacaan piagam, disusul pidato dari Gubernur Andi Pangerang yang meminta agar semua tetap tenang dan tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.

Pada hari yang sama Permesta diproklamirkan, Nasution mengirim radiogram kepada Sumual dan juga kepada Kolonel Sudirman yang pada waktu itu adalah Komandan Ko-DPSST. Ia menginstruksikan kepada mereka untuk tidak mengambil tindakan yang dapat membahayakan keamanan tentara dan rakyat di Makassar. Sumual dan Sudirman memang sudah mengadakan hubungan secara tidak langsung dan bersepakat untuk menjaga keamanan di kota Makassar.

baca juga : 1 Maret 1949 : TNI Kuasai Kota Yogyakarta Selama 6 Jam Lewat Satu Serangan Umum

Kemudian dalam pertemuan seluruh komandan Tentara dan Territorium di Markas Besar TNI-AD pada tanggal 15 Maret 1957 yang turut dihadiri oleh Sumual dan Sudirman, gubernur-gubernur militer yang sudah ditunjuk di TT-VII diterima untuk sementara.

Pada tanggal 17 Desember 1960, pertemuan antara Tumbelaka, Mantiri, dan Arie Supit menyetujui langkah-langkah konkrit untuk mengakhiri pemberontakan. Langkah-langkah tersebut adalah sebuah permohonan dari Menteri Pertahanan/KASAD agar para pemberontak kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan pernyataan dari kubu Permesta yang menyatakan bahwa mereka siap untuk kembali, sebuah gencatan senjata, sebuah pertemuan teknis militer tentang pengaturan pasukan Permesta setelah terjadinya gencatan senjata, dan sebuah upacara inspeksi yang akan dilakukan oleh Menteri Pertahanan/KASAD terhadap pasukan bekas Permesta. (sumber wikipedia)