oleh

BPJS, Antara Jaminan dan Jeratan

koranmakassarnews.com — Terhitung tanggal 01 Januari 2020 nanti iuran BPJS akan dinaikkan mencapai 100%. Jika peserta masih menunggak pembayarannya, akan ada denda mengintai dengan maksimal hingga 30jt. Jadi terhitung denda 2,5% perbulannya.

Sebagaimana dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan hanya mengatur perubahan besaran iuran (detik.com 30/10/2109)

Bisa disimpulkan yang diatur dalam perpres tersebut adalah hanya perubahan besaran iurannya bukan bagaimana jaminan kesehatan yang diterima oleh masyarakat.

Kenaikan iuran ini mengundang reaksi dari sejumlah anggota dewan, termasuk legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan.

“Jika ini diberlakukan, maka kami berencana mendorong pemerintah Provinsi Sulsel untuk menaikkan anggaran Penerima Iuran Bantuan (PIB), yang setiap tahun dianggarkan lewat dinas kesehatan,” kata salah satu anggota dprd.

Penerima PBI tahun 2019 untuk BPJS orang miskin sebesar RP. 191 Milyar untuk 1.735.220 orang miskin di Sul-Sel. (Makassar.tribuntimur.com Rabu,30/10/2019).

Penerimaan PBI untuk rakyat miskin belom mampu disimpulkan dapat menutupi kenaikan iuran BPJS kelak. Karena jika ditelaah bukanlah hanya rakyat miskin yang membutuhkan jaminan kesehatan melainkan seluruh rakyat.

Terkadang rakyat hanya disimpulkan kebutuhan pokok mereka hanyalah sandang, pangan, dan papan. Padahal sejatinya masih ada beberapa kebutuhan pokok yang mereka butuhkan yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Adanya BPJS ini bukan mendatangkan jaminan kesejahteraan dalam kesehatan untuk masyarakat, yang ada adalah jeratan. Kenapa? Layaknya berawal disuguhkan sesuatu yang indah ketika sudah menikmati awal keindahan itu tak mampu keluar darinya saat tersadar itu bukan keindahan jadilah terjerat di dalamnya.

Hal itu dapat dibuktikan dari tercatatnya hingga pertengahan 2019, jumlah peserta nonaktif adalah 49,04 persen dari total peserta mandiri, meningkat dari laporan tahun sebelumnya.

“Tahun lalu peserta nonaktif sekitar 40 persen, lalu per Juni naik jadi 49,04 persen karena fasilitas kurang memuaskan. Sekarang iuran naik, fasilitas juga belum memadai, saya perkirakan peserta nonaktif bisa sampai 60 persen,” ujar Timboel (CNNIndonesia.com, Rabu 30/10/2019).

Hal ini juga mencerminkan tentang buruknya visi rezim dan negara, di samping hak publik yang dirampas. Akan tetapi, semua ini dibenarkan atas nama perundang-undangan pada negara demokrasi.

Seharusnya, pemerintah belajar bagaimana para khalifah bersikap terhadap persoalan kehidupan masyarakat, yakni berkarakter pemimpin sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah (pelindung/pencegah) masyarakat dari berbagai kesulitan, serta pelaksana konsep yang benar bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang diberikan secara cuma-cuma.

Negara (khilafah, red.) adalah pihak yang bertanggung jawab langsung sepenuhnya dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Sehingga terjamin akses mudah setiap individu publik terhadap pelayanan kesehatan gratis berkualitas.

Penulis : Sri Rahmayani, S. Kom

(Ibu Rumah tangga sekaligus aktivis pemerhati sosial)

baca juga : Scientific Approach, Cara Tepat Melatih Anak Bersikap Ilmiah Sejak Kecil