oleh

Indonesian Journalist of Law Gelar Diskusi Virtual Bahas Konten Terorisme dan Radikalisme

JAKARTA, koranmakassarnews.com — Pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta mengatakan sejak aksi terorisme yang bersifat radikal mulai dari bom JW Marriot, Bom Bali, sampai bom bunuh diri satu keluarga yang melibatkan anak-anak seperti terjadi di Surabaya hal ini menjadi perhatian pemerintah. Tidak saja BNPT, TNI, Polri, namun juga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan intansi terkait.

“Padahal anak – anak itu bukan pelaku akan tetapi sebagai korban,” terang Stanis saat Diskusi Virtual yang diselenggarakan Indonesian Journalist Of Law, Jakarta, Kamis (24/7/2020).

Ia menjelaskan bahwa mempelajari bom bisa diakses via internet karena menurutnya paling mudah didapat di internet, yang sebagian besar dilakukan oleh anak – anak berusia sekitar 17 tahun keatas. Namun dibalik itu, anak – anak yang masih dianggap belum cukup umur itu yang telah memperoleh informasi cara membuat bom untuk tindakan yang radikal.

“Biasanya pelaku muda ini jauh dari keluarga dan mencari propaganda di Internet hingga memunculkan eksistensinya. Jadi anak – anak itu perlu diperbaiki,” katanya yang disiarkan langsung dari chanel Youtube, Sultan TV.

Lebih lanjut kata Stanis, pada kasus remaja putri yang masuk di Mako Brimob, menyatakan bahwa belajar dari internet dan didoktrin oleh gurunya. Menurut pengakuannya ia dendam dengan agama yang berbeda dan punya masalah dengan keluarganya dan mencari eksistensi.

“Tutorial membuat bom itu agar diblock oleh Kemenkominfo,” tutur Stanis.

Namun Stanis yang juga pengamat teroris, menjelaskan juga tentang perbedaan antara Al Qaidah dengan ISIS, bahwa kelompok radikal itu jarang sekali diikuti oleh anak muda, rata – rata yang mengikuti kelompok radikal tersebut sudah aqil baligh.

“Akhirnya direspon oleh anak sehingga orang tua tidak bisa mengawasi karena anak tersebut mengakses dari HP yang menjadi barang pribadi. Ini harus dicegah,” imbuhnya.