oleh

Cerita Armin Mustamin Toputiri Tentang Sosok Haris Yasin Limpo

Sehabis menyantap hidangan buka puasa, sebatang rokok saya bakar lagi. Perasaan sedikit tenang. Tapi, di benak saya, tetap saja timbul tenggelam pertanyaan, apa benar sahabat ini melakukan perbuatan seperti disangkakan?

Andai benar — kala itu dirinya Dirut PDAM Makassar – ia mengambil cara tak sah, Rp 20 miliar uang milik perusahaan, maka telah puluhan tahun saya kena “prank”. Saya telah keliru mengenali Pak Nyanyang. Prilakunya, rupanya berbalik arah dari idialnya yang saya tau.

Tapi, aaakh! Di balik hembusan asap rokok, sisi lain di benak saya, menampik. Ia sosok yang taat beribadah. Tampilannya bersahaja, meski dari rumpun keluarga terkemuka. Mengenalnya sejak remaja, tak sekalipun saya tau, ia berbuat culas. Dulu, kala kami berebut menakhodai KNPI Sulsel, ia unggul bukan cara culas. Tapi cara elegan. Kami berunding, berkompromi.

Sisi kekurangan Pak Nyanyang dalam pandangan sekian sahabat dan kolega kerjanya, meski justru sisi lain dari keunggulannya. Ia ketat menata manajemen hidupnya. Ia tak luwes, tak mudah diajak berkompromi pada urusan yang menyimpang, sekecil apapun itu. Sikapnya, sangat selektif merespon beragam urusan dan masalah. Meski peranannya sangat diharap.

Jika demikian, adakah ini kali Pak Nyanyang di posisi khilaf? Atau, di posisi sialkah ia?

Hari demi hari, pertanyaan demi pertanyaan mengendap di benak saya. Hasrat membuncah, ingin bersua. Berharap, Pak Nyanyang mau berterusterang. Gerangan apa sebenarnya terjadi. Meski musykil, saya khatam tau wataknya, tetap bungkam pada ikhwal pribadi.

Dan, Rabu siang kemarin, hasrat bersua terkabul. Lagi-lagi, kami sahabatnya sesama mantan aktifis organisasi kepemudaan, datang menjenguknya di Rutan Makassar. Kami 40-an orang, over capacity pengunjung bagi seorang tahanan. Cara bergilir, semua lolos masuk.

Di antara banyak pengunjung bagi sekian banyak tahanan, di bawah pohon, di bangku yang melingkar, kami duduk, bersua, berbincang dengan Pak Nyanyang. Dilematis, kami yang berkunjung tak kuasa menahan haru. Tapi, yang dijenguk tak berubah. Senyumannya, tetap saja mengembang. Di wajahnya, tak terlihat kerisauan. Malah, ia banyak bercanda.

Pertemuan kami siang itu, tak ada beda di masa-masa sebelumnya. Tanpa beban, tanpa ada masalah. Seolah lupa, jika sahabat kami sedang dirundung urusan pelit. Senda gurau kami, kadang berlebih. Seolah lupa, jika sejatinya kami tengah berbincang dalam rumah tahanan.