oleh

Denny JA : Protes Kampus dan The Silent Majority di Pilpres 2024

Sejak bulan Juni tahun lalu (2023) hingga Januari akhir 2024, approval rating Jokowi selalu di angka 75% sampai 82%. Di akhir januari 2024, kepuasan publik kepada Jokowi, di angka 80,8%.

Jika kita breakdown ke pemilih kalangan terpelajar, kepuasannya pada Jokowi memang lebih kecil dibandingkan kepuasan publik secara rata-rata, atau kepuasan publik di kalangan wong cilik.

Di kalangan terpelajar, yang puas kepada Jokowi sedikit lebih rendah itu di angka 77,9%. Tapi itu pun sudah approval rating yang tinggi sekali.

Bahkan di kalangan terpelajar, yang tak puas pada Jokowi hanyalah di angka 21,8%. Bisa kita katakan, semua yang mengkritik Jokowi dari kampus di atas, itu bagian dari yang tak puas sebanyak 21,8%. Tapi di kampus yang sama, rata rata yang puas pada Jokowi hampir empat kali lebih banyak (77,9%).

Hal yang sama terjadi kepada elektabilitas Prabowo- Gibran. Memang elektabilitas kepada pasangan ini di kalangan terpelajar lebih rendah dibanding rata-rata pemilih, atau dibandingkan dengan wong cilik.

Yang memilih Prabowo- Gibran angkanya 41 %. Ini tetap elektabilitas paling tinggi. Yang memilih pasangan Prabowo- Gibran bahkan di kalangan terpelajar tetap lebih tinggi dibandingkan yang memilih pasangan Anies- Muhaimin, dan yang memilih Ganjar- Mahfud.

Pertanyaannya: bagaimana kita menjelaskan ironi itu? Di awal sudah dikatakan ini karena hadirnya the silent majority.

Terminologi ini untuk menggambarkan mayoritas pemilih yang suaranya tak terpublikasi. Itu adalah fenomena universal. The Silent majority hadir di Indonesia, juga ada di Eropa di Amerika Serikat, dan di banyak negara lain.

Mengapa suara publik yang mayoritas ini menjadi bisu, tak terdengar, dan tak bersuara? Tiga alasannya.

Pertama, untuk kasus Indonesia, mayoritas pemilih yang puas pada Jokowi, yang memilih Prabowo- Gibran, yang memilih tidak bersuara, diam saja., Itu karena memang mereka sudah merasa nyaman dengan situasi sekarang.

Tak ada keperluan mereka untuk ikut ribut-ribut bersuara. Umumnya mereka tidak berkarakter aktivis. Mengapa pula harus menampilkan suara mereka di ruang publik?

baca juga : Denny JA: Prabowo Gibran di Ambang Menang Satu Putaran Saja

Alasan kedua, mereka menghindari konfrontasi dengan the vocal minority. Mereka tak ingin menghabiskan enerji bertentangan dengan yang berbeda haluan. Apa pula manfaat konfrontasi itu bagi hidup sehari- hari mereka?

Alasan ketiga, para pemilih dalam barisan the silent majority memllih bisu, karena mereka memiliki orientasi dan prioritas hidup yang berbeda.

Misalnya, bagi the silent majority, isu dinasti atau isu demokrasi atau isu etika tidak menjadi prioritas utama hidup. Mereka lebih disentuh oleh isu ekonomi, akses pada fasilitas kesehatan, kesempatan pendidikan, dan lain sebagainya.

Saya sendiri secara pribadi selalu menghargai dan mendengar kritik para profesor dan akademisi dari kampus. Suara kritis itu selalu kita perlukan untuk perkembangan dan penyempurnaan ruang publik.

Tapi politik elektoral itu hal yang berbeda. Realitas persepsi publik yang lebih banyak itu justru lebih diwakili oleh The Silent Majoriry. *