oleh

Membedah Pemikiran Denny JA di Pesantren, Kitab Suci di Abad 21

Karena itu Gaus mengajak peserta mempertimbangkan gagasan Denny JA untuk mengapresiasi ribuan kitab suci yang diwariskan oleh 4.300 agama yang ada saat ini. Jangan seperti kaum fundamentalis yang hanya memandang kitab suci sebagai kitab hukum, dan kaum sekuler yang melihat kitab suci sebagai dongeng.

Terhadap kitab-kitab suci, ujar Gaus, kita harus mengembangkan sikap yang inklusif. Tidak mungkin kita mengabaikan warisan peradaban dunia tersebut begitu saja. Sebab di dalamnya ada harta terpendam yang mengajarkan mengenai hubungan yang kudus pada yang gaib.

Dalam hal ini, ujar Gaus, kita perlu mendengarkan pemikiran Denny JA yang sangat penting bahwa agama-agama adalah warisan kekayaan kultural milik bersama umat manusia. Pandangan seperti ini merupakan antitesa terhadap pandangan teologis bahwa agama-agama adalah kebenaran mutlak.

Sebab jika pemahaman mutlak seperti yang terus menerus diwariskan secara turun temurun, maka generasi masa depan akan mewarisi konflik agama.

“Sekarang sudah saatnya kita stop pandangan mutlak-mutlakan seperti itu, kita ubah paradigma. Mulai sekarang kita menggunakan paradigma dari Denny JA bahwa agama adalah warisan bersama yang harus kita hargai,” tegas Gaus.

Pandangan fatalistik dan absolut terhadap agama dan kitab suci seperti yang diperlihatkan oleh kaum fundamentalis maupun kaum sekular, lanjutnya, hanya mempersempit ruang hidup kita di zaman yang ditandai oleh persilangan aktif di antara elemen-elemen budaya dan agama di kancah global.

Kitab Suci sebagai Narasi Sastra

Cara lain untuk memahami kitab suci yang juga bisa dipertimbangkan, tidak hanya mencari sisi keimanan dan sisi mistiknya, melainkan dapat juga memperlakukan kitab suci itu sebagai sastra.

Ujar Gaus, Denny JA sudah mengembangkan pandangan ini dengan memberi contoh bagaimana masyarakat modern dapat menikmati Mahabarata dan La Galigo sebagai karya sastra walaupun bagi orang yang mengimaninya itu adalah kitab suci.

baca juga : Denny JA : Efek Dukungan Jokowi Pada Elektabilitas Pasangan Capres

Hal ini penting karena sudut pandang sastra tidak terikat pada realitas, melainkan pada narasi estetika. Salah satu alasan mengapa kitab suci sekarang banyak diabaikan karena hilangnya sudut pandang ini.

Dengan menukil data-data dari Denny JA, Gaus memberi contoh bagaimana pandangan masyarakat di negara maju seperti Amerika Serikat terhadap kitab suci.

Ketika publik di Amerika ditanya seberapa seringkah mereka membaca kitab suci, hasilnya: yang membaca kitab suci setidaknya sekali seminggu ada 35 persen; namun yang sangat jarang membaca kitab suci dan yang tidak pernah lagi membaca kitab suci jumlahnya lebih banyak yakni 45 persen.