oleh

Membedah Pemikiran Denny JA di Pesantren, Kitab Suci di Abad 21

koranmakassarnews.com — Pesan-pesan agama seperti yang termaktub dalam kitab suci seyogyanya dipahami secara kontekstual. Dengan begitu ia akan terus relevan dan mampu menjawab kebutuhan umat di setiap zaman. Pemahaman tekstual atas kitab suci akan melahirkan pandangan hitam-putih, dan itu berdampak buruk bagi kehidupan yang sebenarnya sangat kompleks.

Demikian intisari pandangan yang disampaikan oleh Tuan Guru Haji (TGH) Munawar M. Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Kampung Al-Quran, Pamijahan, Bogor, dalam diskusi dan bedah buku karya Ahmad Gaus yang berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.”

Selain menghadirkan narasumber Ahmad Gaus sebagai penulis buku, acara yang berlangsung pada Sabtu, 8 April 2023, itu dihadiri oleh puluhan santri, para ustadz, dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Bogor dan Jakarta.

Buku mengenai pemikiran Denny JA itu sebenarnya mengupas berbagai isu yang diangkat dari hasil-hasil penelitian kuantitatif. Namun diskusi ini secara spesifik mengambil salah satu tema dalam buku tersebut yakni Kitab Suci di Abad 21. Menurut panitia hal tersebut sengaja dilakukan karena dikaitkan dengan momen Nuzulul Quran pada 17 Ramadan ini.

“Nama pesantren ini juga kan Kampung al-Qur’an, jadi tema mengenai kitab suci ini sangat relevan untuk kita bahas di sini,” ungkap TGH Munawar M. Ali.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik pembahasan buku semacam ini karena akan memperkaya khazanah pesantren yang selama ini berkutat pada kitab-kitab klasik.

Sementara itu Gaus dalam pemaparannya mengatakan, ia tertarik menulis mengenai pemikiran Denny JA soal fenomena keagamaan karena ia (Denny JA) bukan ulama atau ahli agama, melainkan seorang ilmuwan sosial dan ahli riset. Dengan begitu pandangannya mengenai agama akan menunjukkan corak yang berbeda, dan memberi kontribusi dari arah disiplin ilmu sosial.

Menurut Gaus, pakar penelitian kuantitatif itu memiliki pandangan yang kontras dengan arus utama yang terbelah dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, kaum fundamentalis yang memandang kitab suci sebagai kitab hukum. Oleh mereka, kitab suci dijadikan alat untuk tujuan tertentu sepertti membenarkan terorisme.

baca juga : Legislator DPRD Makassar Harap Perda Baca Tulis Alquran Tingkatkan Kemampuan Anak Anak

Kitab Torah digunakan oleh kaum fundamentalis Yahudi untuk melenyapkan Palestina. Bible digunakan oleh kaum fundamentalis Kristen untuk menyerang LGBT, aborsi, dsb. Kelompok yang kedua adalah kaum sekuler dan orang-orang rasional pemuja ilmu pengetahuan yang melihat kitab suci dengan pandangan sinis.

Bagi mereka, kitab suci hanya merupakan narasi pra-sains dan karena itu tidak lagi relevan untuk masa sekarang. Dalam diskusi menjelang buka puasa tersebut Gaus mengatakan bahwa kedua sudut pandang itu sama-sama kehilangan perspektif dalam menangkap esensi yang sebenarnya dari kitab suci.

Kaum fundamentalis tidak mampu melihat khazanah yang terpendam dalam banyak kitab suci. Kaum sekular terperosok pada prasangka mereka sendiri sehingga juga mengalami hal yang sama dengan kaum fundamentalis.