oleh

Zikir, Enerji Batin dan Religiusitas Denny JA

(IV)

Pulang dari Amerika seusai meraih gekar doktor dari Ohio State University, Columbus, Denny membutuhkan beberapa waktu untuk menjadi surveyor politik terkenal. Itu pun didorong oleh situasi politik yang berubah, berupa penerapan pemilihan langsung dalam sistem politik Reformasi yang berbeda dengan era Orde Baru.

Pemilihan Presiden langsung diterapkan pada 2004, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah langsung dilakukan setahun setelahnya yaitu 2005. Denny memanfaatkan perubahan politik itu.

Dia langsung menjadi salah seorang tokoh surveyor politik disegani yang tentunya memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar.

Sejalan dengan popularitas yang besar itu, Denny juga mengembangkan kecenderungan religiusitasnya. Secara bahasa kata itu berarti tingkat ketaatan beragama seorang pemeluk atas perintah-perintah agama yang diyakininya.

Sebagaimana diketahui, Denny adalah seorang muslim. Dia sudah beberapa kali melakukan ibadah umroh ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Maka tidak layak kita meragukan agama yang dipeluk dan dipercayainya.

Kalau boleh dilakukan kategori, agama Denny penuh dengan sikap moderat. Baginya, agama adalah urusan pribadi yang tidak perlu diumbarkan dalam bentuk ketaatan yang dipamerkan.

Moderasi agamanya itu bisa dirunut dari orangtuanya yang bukan pemuka agama, jenjang pendidikannya sepenuhnya sekuler dari SD hingga perguruan tinggi bahwa sampai sekolah ke Amerika.

Gurunya Djohan Effendi yang juga modernis bukan tamatan pesantren dan pergaulannya yang dilakukannya dengan sesama Islam moderat. Semua itu ditambah dengan bacaannya yang sepenuhnya tanpa pretensi agama.

baca juga : Denny JA: Science dan Trust Di Balik Pilpres 2024

Bagi Denny, untuk tetap menjadi aktual, agama harus sesuai atau mengikuti pekembangan ilmu pengetahuan. Dalam buku pendeknya yang diterbitkan pada 2000, Spirituality of Happiness (SOH): Spiritualitas Baru Abad ke-21, dia menyatakan, agama pada mulanya penuh dengan mitos dan tahyul.

Dunia moderen tidak lagi bisa diyakinkan dengan agama seperti itu. Perlu dilakukan penyesuaikan dengan ilmu pengetahuan moderen yang terus berkembang.

Problem zaman kita sekarang, demikian Denny JA, adalah mitologi dan agama sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan era moderen atau era post-moderen. Atau kalau pun mampu, jawaban itu terasa usang, kuno dan tidak lagi sesuai dengan kebutuhan.